Rabu, 11 Oktober 2017

Karena Perbedaan Keyakinan Aku Terpisah Dari Papa

Sebuah kisah fiksi jika ada kesamaan nama dan peristiwa mohon di maafkan. Semoga bisa di buat bahan renungan, selama menyimak dan di renungkan.
“ Aku ingin bertemu dengan papa “ Kataku kepada mama.
” Kan mama sudah bilang , papa kamu sudah meninggal. ” jawab mama tegas. Mama berusaha memalingkan wajah ketempat lain dengan air mata berlinang.

” Ma, aku sudah dewasa. Tidak perlulah ditutupi terus tentang Papa. Dan lagi , dua bulan lagi aku akan menikah. Aku butuh Papa mendampingiku atau setidaknya aku dapat meminta restu kepada papa. Itu saja ” Kataku dengan lembut. Kusadari bahwa masalah ini sangat sensitip apalagi menyangkut soal papa. Dari dulu, setiap aku menanyakan tentang papa , mama selalu marah dan setelah itu menangis.

” Mama engga ngerti kenapa sekarang kamu jadi lain. Ngotot sekali ingin ketemu Papa kamu. Mengapa kamu begitu peduli dengan papamu yang tidak pernah mau tahu dengan kamu. Sejak kamu lahir , papa kamu pergi meninggalkan mama. Itu harus kamu ngerti. ” Mama mulai menangis. Aku hanya terdiam. Kucoba untuk memeluk mama untuk meredam rasa sesak didadanya.

” Ma...terimalah ini "Kuserahkan amplop besar yang kudapat dari tante Mia. Didalam amplop itu berisi sebuah kebenaran yang selama ini tak dapat kutemukan tentang papa " Mama baca dan kemudian tentukan sikap mama. ” lanjutku seakan berbisik. ” Maafkan aku bila akhirnya aku harus berseberangan dengan mama soal papa. ” Kupeluk mama dan kutinggal mama seorang diri. Akupun kembali kesingapore.

***

Aku memang sejak lahir tidak pernah mengenal papa. Sejak kanak kanak aku tinggal berpindah pindah. Pernah 5 tahun tinggal dirumah Om di Malang. Istri om sangat baik sekali, namun setelah kelahiran putrinya, dia semakin kurang perhatiannya kepada ku. Makanya , om kirim aku lagi kerumah tante di Jakarta. Ini berlangsung sampai aku tamat SD. Karena Jakarta bukanlah tempat yang aman bagi ku, maka mama mengirimku kesingapore untuk tinggal dengan adik mama yang paling bungsu. Tante Mia. Dia sangat sayang padaku. Juga suaminya. Mereka tidak mempunyai anak , hingga akulah satu satunya yang dianggapnya sebagai anak mereka. Sampai akhirnya aku dapat menyelesaikan perguruan tinggi dan bekerja di Singapore.

Sejak SMP, aku sudah mengerti sedikit tentang kehidupan. Keluarga besarku membenci papa,dan menanamkan kebencian itu kepadaku. Wajar bila akupun terlanjur membenci papa. Apalagi keluarga mama adalah penganut agama kristiani yang taat sementara papa adalah muslim. Hanya saja tante Mia tidak pernah cerita negatif tentang papa. Mungkin karena pendidikan tante paling tinggi diantara keluarga mama. Tante Mia juga kristiani yang taat. Jadi lebih mengerti untuk bersikap bijak. Dari tante Mia dan suaminya aku mulai memahami kebijakan, terutama tentang agama. Tante tidak pernah memaksaku untuk menentukan agama yang tepat untuk ku. Baginya agama itu soal privasi yang tak perlu diperdebatkan. Yang penting adalah bagaimana kita bisa menggunakan agama itu sebagai jalan hidup dan membuat siapapun yang dekat dengan kita merasa nyaman. Agama tidak menanamkan kebencian tapi kasih sayang. Agama tidak mempersulit tapi mempermudah. Agama itu adalah ajaran memberi, bukan meminta.

Tapi soal Papa. Aku larut dalam kebencian terhadap Papa. Apalagi kutahu , dua kali mama menikah dengan pria lain , selalu mengalami kegagalan walau itu dijodohkan oleh keluarga mama yang taat beragama. Selanjutnya mama bekerja keras dan hidup sendirian. Laki laki macam apa ini ? .Yang telah membiarkan wanita seperti mama dan aku hidup tanpa perlindungan dari seorang pria yang seharusnya bertanggung jawab disaat kami membutuhkannya.

Ada hembusan pencerahan dalam hidupku ketika aku mulai menjalin hubungan serius dengan seorang pria yang tidak seiman dengan ku. Dia seorang muslim yang taat. Pria itu sangat baik dan sopan. Dia tidak pernah menyentuhku selama kami pacaran. Selalu bisa mengerti perasaanku dan tidak pernah memaksaku untuk mengikuti agamanya. Tapi kepribadiannya membuat ku mulai luluh untuk memeluk agama Islam. Pacarku dengan sabar menjelaskan semua hal tal tentang Islam. Duh, indahnya ajaran agama ini. Dimana kesederhanaan adalah pakaian kesehariaan, Keikhlasan adalah kepribadian dalam bersikap dan bertindak. Lemah lembut terpancar untuk saling menjaga dan menghormati. Antara wanita dan pria saling menjaga atas dasar saling hormat untuk beribadah kepada Allah. Agamaku mendidik kasih sayang dan islam menerapkannya dengan sempurna, setidaknya itu yang kurasakan dalam hubungan dengan pacarku. Maka akupun semakin membulatkan tegad untuk menjadi muslimah.

Tapi bagaimana bisa meyakinkan keluarga mama tentang niat ku untuk pindah agama, tentang hubunganku dengan orang tidak seiman. Inilah yang sulit. Apalagi mereka sangat trauma dengan kehidupan mama yang menikah dengan pria tidak seiman. Pernah ini ku sampaikan kepada om di Malang. Karena dia kakak tertua mama dalam keluarga besar.

” Tidak Lin ! " Teriak Om " Semua orang tahu bahwa Om ini aktivis geraja dan juga mama kamu. Apa kata orang nanti bila mengetahui kamu menikah dengan pria tidak seiman. Bercerminlah dengan mama kamu yang menikah dengan pria tidak seiman. Akhirnya ditinggal pergi ketika mama kamu tidak mau mengikuti agamanya. Mereka kejam sekali, Lin. Mereka dapat menghalalkan apa saja demi agamanya. Carilah pria seiman dengan kamu..”

Begitupula ketika hal ini kusampaikan kepada Tante di Jakarta. Jawabannya sangat tegas. ” Kalau kamu menikah dengan pria tidak seiman maka putus hubungan keluarga kita. ”

Aku terhempas. Jangankan mau pindah agama , menikah dengan orang tak seiman saja sudah prahara bagi mereka. Semua menjadi kebencian ketika menyangkut perbedaan agama. Mengapa ini bisa terjadi.? Apakah agama memang mengajarkan peperangan karena perbedaan ? Aku rasa tidak. Hanya cara menyikapi dan merasa paling benar inilah yang membuat prasangka buruk terbentuk. Membuat kedamaian menjadi sesuatu yang mewah.  Seharusnya orang beragama adalah orang yang menempatkan prasangka baik kepada siapapun dan berserah diri kepada Tuhan.

Terkhir aku berbicara dengan tante Mia dan meminta pendapatnya tentang rancanaku untuk menikah dengan pria tidak seiman. Tante menatapku dengan seksama” Menikahlah karena cinta dan siaplah berkorban untuk itu. Tante tidak bisa memberikan penilaian masalah perbedaan agama. ” Kata tante dengan lembut sambil membelai kepalaku.

" Benarkah , papa itu jahat tante ? Mengapa mereka membenci Islam hanya karena mereka tidak menyukai papa. Sejahat itukah Papa bagi keluarga kita. Pacarku sangat baik dan aku sangat mencintainya. Tidak ada satupun hal buruk seperti yang digambarkan om tentang Islam " Kataku.

Kemudian tante masuk kedalam kamar dan keluar membawa sesuatu ditangannya. ” Terimalah ini ” kata tante sambil menyerahkannya kepada ku. ” Itu buku tabungan tante selama 12 tahun. Jumlahnya sama dengan semua kebutuhan biaya kamu selama tinggal dan sekolah disingapore. Tapi tante tidak pernah ambil satu senpun. Kamu sudah tante anggap sebagai anak kandung tante. Sekarang itu menjadi milikmu.” kata tante dengan air mata berlinang.

” Dari mana tante dapatkan uang sebanyak ini” Kataku heran

” Ini bukti transfer uangnya ” kata tante sambil membuka amplop besar. Begitu banyak lembaran kertas warna merah muda sebagai bukti transfer. Tertulis disitu nama pengirim – Rahmat Subarja –

” Siapa Rahmat Subarja itu ? ”

" Papa kamu. ..” kata tante dengan suara lambat.

" Jadi selama ini semua telah berbohong tentang papaku. Akte kelahiranpun falsu ? "aku terkejut dan sedikit marah.

"Setiap bulan , selama dua belas tahun , dia tidak pernah lupa barang sekalipun mengirimi uang kepada tante untuk biaya hidup kamu. " Kata tante tanpa peduli kemarahanku.

” Papa ?" aku terkejut.

” Ya. " Jawab tante. Kemudian tante memberikan satu lembar amplop putih kepada ku. Di dalamnya ada surat dan juga photo pria. ” Ini ada surat dari papamu. Dia berharap agar tante memberikan surat ini kepada mu pada saat yang tepat. Khususnya ketika kamu akan menikah. “

Aku pandang photo itu. Nampak seorang pria gagah dan berwibawa dibalik senyum. Aku terhenyak memandang photo itu. Lama aku memperhatikan photo itu. Baru kemudian aku membaca surat itu . :

Anaku, Kamu adalah anakku. Buah hatiku. Secara agama dan sudah dibuktikan dalam ilmu pengetahuan bahwa ayah itu pembawa factor keturunan. Artinya pemilik syah anak secara batin maupun biologis adalah ayah. Tapi ibu berperan besar dalam proses terjadinya takdir hingga kamu terlahirkan kedunia ini. Ibu kamu pula yang telah mengorbann segala galanya untuk sesuatu yang bukan miliknya. Yang pasti keberadaan kamu karena bertemunya syariat kasih sayang diantara dua anak manusia untuk meyakini hakikat keberadaan sang pencipta yang maha pengasih lagi penyayang. Makanya tidak ada alasan apapun bagi Papa untuk membenci mamamu. Sangat berat hidup berpisah dengan seseorang yang kita cintai. Namun itu semua harus kita korbankan untuk cinta yang sesungguhnya dari pemberi cinta. Allah. Kami bertemu disaat kami tak bisa menjaga diri kami dan akirnya berpisah diluar kekuatan kami. Kini , Pinta papa hanya satu :izinkan papa menikahkan mu dengan pria yang kamu cintai. Papa percaya dengan apapun pilihanmu. Anakku..Masa lalu kami bukan hal yang baik untuk dicontoh tapi bagaimanapun kamu tetaplah anak kami. Semoga Allah pula yang akan mempersatukan kita. Papa yakin bahwa bila kita cnta Allah maka kehendak Allah pula yang berlaku dan itu pasti yang terbaik untuk kita....”

Aku terduduk dan mataku berat seakan ingin menumpahkan airmata. Namun kucoba tegar. Kutatap tante yang sedari tadi memperhatikanku. ” Ketika kamu datang kesingapore. Papamu mendatangi tante. Kebetulan tempat kerja om kamu punya hubungan business dengan papa kamu. Papamu minta agar masalah ini dirahasiakan dari siapapun. Termasuk kepada mama dan yang lainya. Papamu hanya ingin kamu bahagia dibawah naungan ibumu dan kami. Itu saja. ”

” Apakah papa sudah menikah lagi ? ” tanyaku.

” Papamu pengusaha yang sukses.Tidak sulit baginya untuk menikah lagi.Tapi dia tetap berharap suatu saat bisa bersama mamamu lagi. Sampai sekarang dia belum menikah. Seminggu lalu , kami bertemu dengan dia di Hotel ketika dia mampir untuk ke Eropa. Dia selalu menanyakan perkembanganmu.Sangat antusias mendengar cerita tentangmu."

” Mengapa dari dulu , tante tidak pernah kenalkan papa dengan ku ?”

” Hanya ketika kamu akan menkah maka rahasia ini boleh dibuka”

” tapi mengapa ?

” Tante tidak tahu. Tapi begitulah cara papa kamu bersikap. ” Aku terdiam.

Aku membayangkan bahwa pria yang aku kenal sebagai papaku ini ternyata seorang pria sejati. Juga seorang yang ikhlas menerima takdirnya untuk tetap istiqamah dengan keimanannya walau cintanya terpasung dengan seseorang yang tidak seiman. Dia ikhlas untuk memendam rindu kepada manusia yang dicitainya demi cintanya kepada Allah. Ini yang sangat sulit bagi semua orang yang mangaku beriman. Apalagi tidak ada benci dari semua ini. Tanggung jawabnya karena Allah tak pernah dilalaikannya. Terbukti semua kebutuhanku dipenuhinya. Yang lebih lagi adalah keikhlasannya untuk tidak dikenal oleh anak kandungnya sendiri demi menjaga keadilan dan perasaan dari seorang ibu yang melahirkan anaknya. Kalaupun dia ingin bertemu maka itupun karena printah Allah yang mengharuskan ayah menikahkan anak gadisnya. Jadi ,tidak ada alasan untuk membenci pria ini. Seperti yang selama ini dikatakan oleh keluarga mama.

***
Di Changi Airport, Singapore..

“ Kami menikah tanpa restu orang tua. Ketika itu kami masih sangat muda. Papa mu berusia 19 tahun. Dia masih kuliah tingkat satu. Sementara mama masih duduk di SMA kelas 2. Enam bulan setelah menikah , kamupun lahir. Tidak ada yang salah tentang papa kamu. Namun , satu hal yang tidak pernah mempersatukan kami , yaitu agama. Kakek kamu memaksa mama untuk pergi meninggalkan papa ketika papamu minta agar mama memeluk agama Islam. Padahal sebelumnya diapun sudah diasingkan oleh keluarganya karena menikah dengan mama yang tidak seiman, ...” Kata mama dengan air mata berlinang.

Kugenggam tangan mama. Seakan ingin menguatkan batin mama. " Yang mama sedihkan adalah begitu keluarga kami sangat membencinya namun kecintaannya kepada mama tidak pernah surut dan tanggung jawabnya kepada mu tidak pernah hilang. " Sambung mama lagi.

Ada sesal yang tak bisa diungkapkan dengan mudah. Namun airmata mama sudah cukup menggambarkan semua itu.Kini aku hanya ingin memastikan bahwa aku mempunyai seorang papa yang akan mendampingiku dalam acara pernikahan.

Disini, di Bandara kami berdua sedang menanti kedatangan pria yang kami sangat rindukan dan hilang dari kehidupan kami hanya karena ego dari sebuah perbedaan. Dengan semua yang kutahu belakangan tentang papa , maka lengkaplah kebanggaanku tentang papa ketika mama berkata : ” Sekarang mama sadar bahwa kemuliaan hatinya adalah cermin dari kemuliaan ajaran agama yang diyakininya. Mama sadar ,kita mengagungkan tentang cinta kasih sementara kita kadang masih punya rasa benci.Apapun agama tidak pernah mengajarkan kebencian. Tidak ada yang salah dari agama papamu. Mamalah yang salah dari semua ini karena begitu saja larut bersama kebencian keluarga mama terhadap papamu... “

Demikian sebuah kejujuran terungkap setelah bertahun tahun , setelah kemarin mama menerima Aplop berisi semua tetang papa, akhirnya mamapun luluh untuk menerima kenyataan.

Dari speaker terdengar pengumuman kedatangan pesawat yang membawa papa kepada kami disini. Jantungku berdetak kencang. Mama berkali kali memegang ujung tali tasnya. "Mama tetap cantik kok. Aku yakin , papa tetap mencintai mama" Kataku menghibur mama yang nampak gugup untuk menemui pria yang pernah bersemayam dihatinya.

Selang kemudian mama nampak tersenyum kearah seorang pria yang berjalan menuju kuridor kedatangan.. Pria itu berusia empat puluhan namun nampak lebih muda dari umurnya. Gagah sekali dengan setelan jas. Aku sempat ragu untuk mendekatinya. Ketika kulihat mama berjabat tangan dengan ragu namun senyum menghias diwajahnya. Begitupula pria itu. Mama melirik kearahku....” Bang, itu Lina...” Pria itu mendekatiku dengan seksama. Matanya memancar keteduhan yang sangat dan ada terselip kerinduan , kelelahan. Dia memberikan isyarat untuk memelukku dan entah mengapa dengan begitu saja aku menghambur dalam pelukannya...

” Papa...lina kangen papa...” Kataku dengan air mata berurai. Aku tahu papapun ingin menangis namun papa tetap tegar dengan airmata mengambang dipelupuk matanya. Tak ada kata kata yang keluar dari papa. Dia perhatikan dengan seksama wajahku. Aku tahu papa sangat merindukanku. dan akhirnya dia melepaskan pagutanku ” Papa juga kangen, sayang...Maafkan papa ya..”

Aku sempat membisikan kata kata ” Pa, aku mualaf sekarang. Aku ikut papa aja ya ” Air mata papa berlinang sambil menggerak bibir seperti sedang menyebut nama Allah. ” Mama juga ikut papa , kami berdua sekarang mualaf loh pa. Jadi papa wajib loh bantu mualaf agar terus dalam keimanannya. ” kataku lagi. Papa melirik kearah mama. Nampak mama menganguk dengan air mata berlinang.

Sebulan sebelum calon suamiku melaksanakan ijab kabul , papa dan mama lebih dulu melakukan ikatan resmi sebagai suami istri di KUA, karena mama sudah menjadi seorang muslimah. Karena aku , hidayah Allah datang kepada mama. Karena aku , keluarga kami utuh kembali setelah 24tahun berpisah. Jadi kalaulah ada rezeki yang tak ternilai maka itu adalah hidayah Allah. Bila kita cinta pada Allah maka Allah pulalah yang akan menjaga kita dan Allah berbuat sesukanya diluar kemampuan rasionalitas kita, untuk kebaikan dan kebahagiaan kita ,demikian papa.

Saya percaya jika Tuhan menurunkan Agama beserta Kitab kitabnya agar dijadikan petunjuk sebagai jalan hidup MANUSIA. Maka pastilah petunjuk itu bersifat Universal, difahami seluruh manusia dan semua menganggukkan kepala akan kandungan maknanya. Dengan demikian perbedaan seharusnya hanya pada tataran Indera.  Bukan Hati apalagi hati Nurani

So...jika kita mengartikan Kitab yg kita percayai mengajarkan eksklusifisme...saya meragukan cara kita menterjemahkannya.

Bukan berarti gendhis setuju pernikahan berlainan keyakinan. Sekali lagi ini hanya cerita fiksi.

Sumber : Erizely Bandaro

Rabu, 15 Juli 2015

Kalau Cinta Kenapa Harus Diam




Beginikah rasanya mencintai secara diam diam.  Hanya melihat dari jauh  saja sudah sangat sangat bahagia. ya,aku kagum sekaligus tak ku sadari timbul percikan rasa cinta , aku merasakan sudah beberapa tahun ini secara diam-diam hatiku bergetar di saat melihat ataupun bahkan andai aku ada di dekatnya. Akan tetapi kenapa aku harus seperti ini, tak cuma diam. Terkadang dalam hati berteriak ‘Hayy…. kamu savindra ‘”kalau cinta kenapa harus diam “, karena aku dan dia sudah saling kenal, dan bahkan sering membuat konversasi yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui messenger.


Daniel aldo wijaya, ialah nama lengkapnya. Dia adik kelasku ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia berpacaran dengan sahabatku. Saat itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum akan kepandaiannya. Entah, buatku, lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma tersendiri, terlebih dia mampu bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya hubungan Aldo dengan Lina -sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku, sebab aku tak mungkin bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup mencintainya saja, bukan untuk memiliki hatinya, ujar benakku.

Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki? Filsafat lama pasti sudah memikirkan tentang hal ini. Waktu berjalan dengan kaki bayangan, kaki yang tak terlihat oleh kasat mata manusia. Waktu ialah serupa cinta; cuma bisa dirasa. Waktu ialah harapan, setiap langkahnya bergerak ke depan, membawa angan dan ingin yang ditiupkan angin, berharap selalu tentang kebaikan. Waktu ialah serupa perempuan; tak mudah ditebak. Waktu terkadang baik; mendekatkan. Pun waktu terkadang jahat; memisahkan. 


Waktu memisahkan kami,…. Kami?! Ah, maksudku, aku yang mengharap kami, padahal seharusnya kubilang aku dan dia saja. Entah ketika dia mengetahui aku yang selalu menyebut aku dan dia ibarat kami, mungkin akan marah. Sebab memang tak pernah ada kami. Aku dan dia memang tak pernah punya cerita. Tapi pikirku, dia tak akan pernah tahu tentang rasa diam ini yang kupunya. Jadi, kuibaratkan kami saja. Masih berharap tentang waktu, masih berharap tentang kami.

Beberapa tahun yang lalu. Terakhir aku menemui matanya yang kucuri diam-diam ketika perpisahan sekolah. Dia mengucapkan salam perpisahan. Dan aku, cuma bisa membalas senyum. Ah, aku masih ingat senyumnya. Manis sekali.sweeettt …sweeetttt

"Kak, apa kabar lo? Kita udah lama banget nggak curhat-cuhatan. Sekarang kuliah di mana? Gue udah kuliah di Universitas XX. Bentar lagi balik ke Tuban. Aaaak Semester awal ngeselin ya Kak. Tapi kan untung gue pinter. Hehehehe..." 

Aku kaget. Satu menit yang lalu memikirkan dia, dia langsung mengirimiku pesan instan di Blackberry Messenger. Sesegera mungkin aku membalasnya.

"Alhamdulillah baik. Lo sendiri gimana? Gue kuliah di Tuban. Hahaha, lo masih nggak berubah ya, Do. Pinter, tapi sombong. Huh! Semoga lancar deh semesternyaa ya!", balasku.

"Gue kangen deh sama lo, Kak." Ucapnya, membuatku ge-er. Aku. Berharap. Lagi.

"Ciyeeee, ada yang kangen sama gue. Hehehehe." Balasku, penuh percaya diri.

"Iiiicsh, pede. Kak, gue ketemu Lina loh di sini. Dia makin cantik deh, Kak. Makin dewasa. Yaiyalah, Lina lebih tua dari gue. Namanya juga dulu macarin kakak kelas. Hahahaha. Kita ngobrol panjang lebar loh." Celotehnya lagi, menghancurkan harap, merusak mood. Jadi, dia membuat konversasi ini hanya untuk membicarakan yang tak terlalu penting buatku? Ah, Aldo selalu begitu. Harusnya aku tak usah berharap lagi tentangnya.

"Gue udah lama nggak ketemu dia. Hehehe, pasti lo seneng banget deh ketemu mantan. Ciyeeee. Eh Do, gue harus masuk kantor lagi. Lanjut nanti ya ngobrolnya. Byeeee!" Aku berbohong, sebab makin lama Dia membicarakan mantannya, mood-ku bisa semakin berantakan.

Lagi dan lagi, cuma bisa berharap. Memang tak seharusnya berharap secara terlalu. Memang seharusnya berpindah ke hati yang lain, tak melulu soal yang lalu. Sebab waktu berjalan.


"Ah, sial! Mobilku mogok! Kenapa begini sih?! Meeting-ku mulai setengah jam lagi." Gumamku, kesal. 

Pagi ini penuh sial. Minuman kotakku tumpah mengenai seragam, pun mobilku mogok di sembarang tempat, jalan yang jauh dari bengkel ataupun pom bensin. Ya, aku selalu menghindari jalan yang rawan kemacetan. Sebisa mungkin aku meminimalisir menggunakan jalan-jalan umum, aku lebih sering menggunakan jalan alternatif -jalan perkampungan yang masih bisa dilewati mobil satu arah-  agar bisa menghemat waktu. 

"Dasar cewek. Punya mobil tapi nggak ngerti mesin. Coba sini, saya lihat kenapa bisa mogok." Seorang lelaki berpengawakan tinggi kurus, berkulit putih, pun tampan ini mencoba menolongku tetapi dengan gayanya yang sok tahu. Huh! Tapi memang, aku tak mengerti soal mesin. Hehe.

"Mbak, ini sih bensinnya abis. Bentar deh, saya beliin bensin dulu ke depan." Ujarnya.

Sebentar. Aku mengenalinya. Ah iya! Aldo! Yang barusan mau menolongku dengan gayanya yang sok tahu itu ya cuma milik Aldo. Ini benar-benar kebetulan yang luar biasa. Waaah, hari ini ternyata bukan hari sialku. Sebab aku bertemu dengan orang yang selama ini aku harapkan untuk bertemu.

"Bensinnya udah saya isiin, Mbak. Lain kali, jangan sampe bensinnya habis gak bersisa. Kasihan mobilnya." Ucapnya, sambil menuju ke arah mobilnya yang kemudian bergegas untuk berlalu.

Dia tak mengenaliku. Sama sekali tidak. Kupikir, dia akan memanggil namaku, dan setelahnya kami bisa saling membuat konversasi langsung yang menyenangkan. Tapi nyatanya tidak. Dia tak mengenaliku. Ah, sial! Kupikir hari ini berubah jadi hari keberuntunganku, nyatanya tidak. Sikapnya tadi cuma membuatku diam, dan sedikit bengong.

"Mas, makasih!" Teriakku.

Hal tersebut menyadarkanku untuk segera melajukan lagi kendaraan roda empat yang dihadiahi Mamaku ketika aku berulangtahun di usia 19 tahun. Kembali ke dunia nyata, dan lupakan segara harap yang tak mungkin. Kepada hati yang penuh harap, logika harusnya siap menantangmu. Ah.

----

Di kedai kopi , pukul tujuh malam sepulang dari boutiqku. Aku melihatnya lagi. Dia, jelas tak melihatku. Sebab Kedai sedang ramai, dia mana mungkin menyadari keberadaanku. Dia memesan kopi hitam panas, di cup kecil, take away. Datang ke Kedai cuma sepuluh menit, kemudian berlalu. Hal ini ternyata terus berulang, sampai berlaku ke seminggu berikutnya. Sampai aku hafal betul kebiasaannya.

Ternyata kami berbeda. Dia meminum kopi selalu di mobil, sebagai teman tak ngantuk ketika mengendarai. Sedang aku, meminum moccacino sembari meluapkan hobi menulis dan menggambarku, sambil sesekali mencari wi-fi untuk sharing bersama teman-teman lain melalui sosial media, dan menghabiskan waktu berjam-jam. Sepeti halnya saat ini, kopi moccaku sudah di cangkir kedua, sketsaku sudah di lembar ketiga, pun cerpenku sudah di paragraf ke enam puluh dua.

Serasa ada yang memanggilku. Tetapi dengan panggilan "Hey!" Yang menurutku kurang begitu sopan. Ah iya, tak semua orang mengetahui namaku.

"Kita ketemu lagi. Udah dua kali aja kita ketemu. Ah iya, saya belum tahu nama kamu. Aku, Aldo. Daniel aldo wijaya." Dia menyodorkan tangannya, tanda perkenalan.

Aldo masih tak mengenaliku. Padahal di Blackberry Messenger aku begitu sering mengganti display picture menggunakan foto yang memang wajahku. Ah, mungkin memang dia tak pernah meng-enlarge display picture-ku di BBm. Dan seharusnya dia mengenaliku karena dulu kami sering bertemu. Huh. Tapi itu tentang beberapa tahun yang lalu. Mungkin aku yang banyak berubah, sedang dia, tidak.

"Gendhis Savindra, panggil Gendhis, atau Vindra." Sebenarnya ada sedikit kecewa, tapi tak kutunjukkan. Kemudian kusuguhi senyum yang beberapa orang bilang senyumku begitu manis. Sedikit PeDe boleh, kan? Oh ya, namaku Ira rachmawaty septya putry savindra. Di Blackberry Messenger, selalu kutulis  Gendhis S., Aldo tak akan pernah tahu S. di dalam namaku. Aku membiarkan dia tak tahu tentang aku yang sebenarnya, tapi aku tak sama sekali berbohong. Savindra memang benar namaku.

"Savindra kan nama cowok. Yaudah, karena kamu nggak sama sekali kelihatan kayak cowok, jadi gue panggil Gendhis  deh. Hmmmm, anak desain ya? Gambarnya bagus-bagus, lucu. Kalau yang gambarnya, cantik." Ucapnya, sambil sesekali melempar senyum yang disisipi tertawa kecil, ah, manis.

Aku serasa menjadi orang lain, yang begitu pendiam, yang begitu tak mau tertawa biar dia memberiku beberapa humor yang memang seperti terpaksa dan aneh. Entah, kenapa dia begitu sok akrab kepadaku.

"Ah enggak, cuma hobi aja kok."

"Penulis?"

"Cerpenis blogger."

"Aku nggak begitu suka baca."

"Aku pun."

"Kok suka nulis? Mana ada penulis yang nggak suka baca. Aneh." Gumamnya.

"Ada, aku."

"Kok bisa?" Aldo keheranan.

"Menulis itu merekam ingatan, mencatat keinginan, memainkan imajinasi, dan hidup di dunia fantasi. Nggak perlu suka baca, soalnya cuma tinggal berkhayal, buat dunia baru. Menulis itu membuat dunia sendiri, sedangkan membaca itu menonton dunia orang lain, dengan seolah-olah kita berperan dan hidup dalam tulisan itu."

"Kenapa kamu nggak suka baca?"

"Aku lebih suka nonton film. Nonton film dan baca buku itu ialah pilihan. Bagiku, aku harus memilih salah satu di antaranya. Kamu mau bilang aku aneh? Silahkan. Semua orang punya caranya sendiri untuk memilih apa yang disuka maupun tidak. Seperti halnya menggambar, aku nggak tahu teknik menggambar yang benar, pun menulis dengan kalimat rapi dan berbahasa tinggi, tapi selagi itu menyenangkan dan nggak merugikan diri sendiri, i lived on it."

"Kamu cerewet."

Apa? Cerewet?! Aku bahkan tak tertawa. Aku hanya menjelaskan apa yang dia pertanyakan. Aku ini sedang jadi pendiam, pendiam yang cuma menjawabi pertanyaan-pertanyaan dia yang seharusnya tak kujawab, yang tak begitu penting. Entah penjelasanku didengar atau tidak, seperti serasa menceritakan dongeng kepada bayi yang baru kemarin lahir, cuma dijawab "Oaaa... Oaaaa", huh.

Dasar wanita, mudah sekali kesal. Dengan dia bilang seperti itu, sudah merupakan tanda bahwa aku harus berhenti bicara. Aku diam.

Hening.

"Kok diem?"

"Tadi dibilang cerewet, giliran diem, ditanya 'kok diem?'. Hahaha." Aku meledek.

"Gue memperhatikan kok setiap kalimat yang kamu ucapkan. Gue paham. Kamu itu penulis dan penggambar yang masih malu untuk unjuk gigi. Yang terkadang selalu merendahkan diri dengan bilang cuma sekadar cerpenis, dan cuma sekadar suka menggambar yang tak bisa menggamar. Tapi kamu terlihat sebagai wanita yang segala bisa. Oh ya, gue bilang cerewet karena memang kenyataannya begitu. Cerewetmu tak menjengkelkan kuping gue. Malah gue senang dengernya. Nggak apa-apa cerewet asal berisi. Tuh kan, gara-gara kamu gue jadi ikut cerewet." Jelasnya, panjang lebar.

'Aldooo. Kenapa kamu tak menyadari sama sekali bahwa ini aku, kakak kelasmu dulu, yang begitu diam-diam megagumimu? Yang sedang dihadapanmu ini ialah yang selalu kamu panggil Kak Rachma. Ah, aku cuma bisa bergumam dalam hati, menunggu kamu menyadari dengan sendirinya.' Batinku.

"Oke, sekaang giliran kamu yang cerewet dan silahkan ceritakan tentang kamu. Tapi aku kasih waktu, lima menit."

"Udah kayak interview kerja ya. Huh. Yaudah. Nama gw Aldo umur 18 tahun. Dan gw sama sepertimu, nggak suka baca, dan lebih senang nonton film. Bedanya, kamu wanita, gw lelaki, dan gw nggak suka gambar. Gw lebih suka motret dan travel. Kalau film, gw suka sama Adam Sandler dan Jennifer Anniston. Segitu aja dulu deh, tentang gw, sisanya bisa gw ceritakan di pertemuan kita yang ketiga, nanti." 

Tanpa dia jelaskan pun, aku suh tahu tentang dia lebih banyak dari yang dia ceritakan barusan. Aku cuma tak mau konversasi ini cepat berakhir.

"Jangan terlalu yakin kalau akan ada pertemuan ketiga di antara kita." Entah. Kenapa aku begitu terkesan sombong dan menjengkelkan. Seperti bukan aku.

"Saya yakin. Sepulang kantor, besok, pukul tujuh malam, di tempat yang sama seperti halnya malam ini."

"Ya mudah-mudahan. Pulang yuk, udah pukul sepuluh malam" Ajakku, yang sudah menemui beberapa kantuk menghinggapi kelopak mata.

"Yuk."

Kami dipertemukan, tetapi di dalam keadaan di mana kami sedang tak saling jatuh cinta. Maksudku, aku yang jatuh cinta diam-diam, sendirian.wkwkwkwkwkk…


------

Sepulang kantor, mama meneleponku untuk segera pulang, mama minta ditemani sebab mbak siti sedang cuti pulang ke desanya. Jadi malam ini, aku tak singgah di Kedai Kopi, pun benakku bilang bahwa Aldo tak datang ke Kedai malam ini.

Pukul sepuluh malam. Led Blackberry-ku menyala merah. Ada yang mengirimiku pesan instan.

"Kak. Gue ketemu Lina lagi. Tadi sore kita jalan bareng. Ternyata dia nggak berubah ya, kekanak-kanakannya itu imut, selalu bikin gue gemes."

Ternyata Aldo, pesannya sudah terlanjur kubaca. Tak mungkin kuabaikan, biar seberapa besarnya mood-ku rusak tiba-tiba oleh isi pesannyayang straight to the point. 

"Duh, kalian lucunya. Semoga akur terus ya. Duh, gue jadi kangen kan sama kalian..." Balasku, sesak.

Bagaimana bisa dia masih ingat Lina dengan jelas, sedang denganku tidak sama sekali? Jawabannya sudah jelas, karena dia tak memperhatikanku.

"Ya mudah-mudahan kita bisa ketemu, lagian kan gue udah balik ke BJN. Lagi apa, Kak?"

Benar kan? Aldo tak ke Kedai malam ini. Sesore tadi dia bahkan jalan dengan Lina. Memang harusnya tak usah ada pertemuan ketiga sebagai Savindra dan Aldo lagi. Memang harusnya kupatahkan hatiku agar tak melulu dia yang menyinggahi benak. Sudahi, mudahi.

"Lagi nonton tv, nemenin mama. Soalnya mbak yang biasa temani mama lagi pulang kampung."

"Oh, yaudah Kak. Selamat nonton tv bareng mama. Salam buat mama kakak".

Chat terakhirnya tak kubaca. Cuma terlihat sebaris dari display utama notifikasi pesan. Kubiarkan tak terbaca sampai pagi.

-----

Kopi susu moccacino, ialah rutinitasku. Takkan kubiarkan hari-hariku kurang tanpanya. Kopi favoritku ialah kopi moccacino panas dengan dibubuhi sedikit gula. Kopi susu sedikit gula, ialah teman menulis gila. Kopi racikan Barista favoritku ialah Mas Dewa, Barista di Kedai Kopi yang biasa aku singgahi. Malam ini, aku singgah lagi. Tanpa sedikitpun berharap mata menemuinya. Malam ini, cuma mau menghabiskan dua cangkir kopi susu moccacino panas favoritku, sembari melepaskan asa yang kurekam dalam sebuah tulisan singkat. Malam ini, aku tak menggambar, sebab aku lupa membawa pulpen gambar.

"Hei, nggak menggambar?" Lagi-lagi Aldo.

"Lupa bawa drawing pen."

"Nih , aku punya. Tapi yang 0,05 mm. Aku selalu bawa di saku baju. Tapi nggak tau buat apa."

"Lagi males gambar."

"Hmmmm... Okay. Semalem nggak ke sini ya?"

Menyebalkan. Untuk apa dia menanyakan hal yang tak perlu ditanyakan. Iya, tak perlu, sebab dia sendiri bahkan tak datang.

"Seharusnya malam ini pertemuan kita yang keempat." Lanjutnya lagi, sebab aku masih diam.

"Semalam kamu ke sini? Aku nggak ke sini, soalnya ada urusan lain yang lebih penting."

Baru saja semalam aku mau melupakannya. Tapi lagi-lagi dia datang, seolah-olah membuka tangan, memberi harap untuk saling bisa menggenggam. Entah apa yang ada dipikiran lelaki yang satu ini. Hatinya ke mana-mana. Inginkan Lina, tapi seolah meminta hati dan perhatianku. Ini mengesalkan, harusnya kalau sudah ada Lina, tak usah bilang soal pertemuan kami.

"Saya nunggu sampai  pukul sepuluh. Habis itu pulang. Soalnya kamu nggak juga datang." Ucapnya, mengagetkan.

"Maumu apa?!" Emosiku tiba-tiba meledak.

"Saya nggak pernah merasa seyakin ini. Saya menyayangi kamu." Aldo makin membuatku semakin tak mengerti.

"Kita bahkan baru bertemu tiga kali. Jangan bicara sembarangan. Kamu bahkan nggak kenal aku." Sesak, aku menahan air mata. Bagaimana tak sesak, semalaman dia membicarakan Lina, sekarang bilang seperti itu dengan mudahnya.

"Saya sering memperhatikanmu, jauh sebelum bertemu denganmu ketika mobilmu kehabisan bensin. Saya sering memperhatikanmu di sini. Kamu menggunakan syal yang berbeda setiap harinya. Tiga warna yang kuingat, warna campur gelap dominan merah tua, warna campur gelap dominan biru tua, dan warna garis-garis hitam abu-abu yang berantakan. Kamu bisa menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi moccacino panas sedikit manis, menggambar dan menulis dengan penuh serius, sendirian. Menghampirimu, sangat butuh keberanian yang cukup, sebab kamu terlalu penuh serius dengan imajimu, sampai tak menoleh ke arahku yang berada di depanmu, sedang memesan secangkir kopi yang sama denganmu. Saya selalu memilih untuk membawa kopinya, ialah sebab saya ingin menghampirimu, tetapi enggan merusak imajimu. Kemarin ialah waktu yang tepat buat saya membuka konversasi langsung sama kamu. Maaf, jadi saya yang cerewet, cuma sekadar mau menjelaskan apa yang selama ini ku rasakan." Jelasnya, yang sama sekali tak membuat semua jelas.

"Aku tanya maumu apa?! Aku tanya sekali lagi maumu apa?!" Air mata perlahan menetes. Aku berucap, lirih. Gemetaran.

Aldo terdiam.

"Kamu nggak bisa seenaknya mempermainkan perasaan orang lain. Lina, kemudian aku. Aku Gendhis, yang selalu kamu kirimi segala cerita-cerita tentang Lina dan kamu, tentang cinta kalian. Aku Gendhis, yang kadang hatinya mudah kecewa tiap kali kamu menceritakan dia. Aku Gendhis, yang berharap ketika itu kamu memanggil namaku, tetapi kamu malah berlalu, pun malah menanyakan namaku. Kamu tahu, aku penuh luka, dan aku ingin lupa!" Jelasku, masih berlirih.

"Kenapa harus luka? Kenapa harus kecewa?"

"Sebab aku mencintaimu!" Ucapku, refleks.

"Diam-diam?"

"Pikirmu?!"

"Kamu pikir, saya nggak mencintaimu, hah?!  Saya bingung harus melakukan apa ketika itu. Saya mana mungkin mendekatimu setelah saya memacari sahabatmu. Lina tak bisa membuat saya menyukaimu dengan seyakin ini. Saya bingung membuat konversasi denganmu di messenger memulainya dengan apa. Mungkin dengan itu, bisa membuat kita saling bertukar cerita lebih lama. Tapi saya malah melukai kamu." Jelas Aldo, meyakinkan.

"Aku nggak percaya." Balasku, singkat.

"Kamu harus percaya. Saya tahu kamu, Ira Rachmawaty Septya Putry Savindra. Saya jelas tahu namamu dari perpisahan sekolah waktu itu. Saya ada, dan saya yang memotretmu. Saya jelas hafal namamu. Soal waktu itu, saya cuma sekadar sengaja mencoba menjadi orang asing bagimu. Kamu tahu kenapa? Supaya kita bisa lebih banyak bicara, sampai larut. Cinta saya diam-diam. Tapi sekarang tidak. Sebab saya sudah mencoba mengungkapkannya."

"Aku bahkan lebih dulu mencintaimu diam-diam. Aku lebih dulu mengagumimu."

"Iya, setelah itu saya yang begitu menyukaimu. Diam-diam juga."

"Lalu?" Aku masih tak menyangka. Aku berasa sedang bermain dengan imajin di dunia fantasi liarku. Semoga ini benar, dan bukan sekadar ilusi.

"Saya mau kita."

"Maksudnya?" Aku masih keheranan.

"Segala kita, di semua cerita yang kamu buat. Bukan ilusi, bukan imajinasi. Kita, yang membuat ceritanya sendiri. Kita, yang menghidupi segala fantasimu. Gw sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu."

Kami saling meyakinkan hati, di hadapan dua cangkir kopi hitam sedikit manis yang mendingin sendirinya, cangkir kopi milik kami.  Kami ialah dua yang sama; pecinta racikan kopi yang sama rasa, yang ternyata saling mencinta diam-diam, pun yang akhirnya cintanya bisa suarkan suara kejujuran dari masing-masing hati kami.

Malam itu, dia memelukku. Memberi tenang yang luar biasa candu; menenangkan, mendamaikan.

Sekarang, cinta kami tak lagi diam.

Teruntuk kalian yang cintanya bungkam, belajarlah bicara.jangan terus diam andai kalian semua di hinggapi rasa, utarakanlah biar tak ada penyesalan . 




Rabu, 25 Februari 2015

Sebuah Catatan Berbalut Puisi Rindu


            
https://artikelcahkenongo.blogspot.comMalam inii aku pulang agak malam tak seperti biasanya,capek yaa pasti karena seharian sangat –sangat sibuk,dan dalam perjalanan pun sangat melelahkan maklum cuaca masih belum berubah ,masih seperti kemaren kemaren hujan dan hujan ,dalam kondisi seperi ini kondisi ,dan konsentrasi jadi tuntutan wajib, sesampainya aku di rumah mama menceramahi ,mba’siti  soal soal cinta yang ada dalam serita sinetron yang mereka tonton,ooyaa ..mama dan mba’ siti sangat maniak soal sinema yang alur ceritanya suka muter-muter,selesai membersihkan diri aku duduk deket mama sambil tersenyum aku  mendengarkan mereka berdua,Sinetron ,hhff ..sinema indonesia pasti akan aneh bile tak ade sponsorsip,hhmmm..
eecchh aku teringat sesuatu dan aku lari ke kamar dan membongkar rak buku ,aku menemukan sebuah
buku yang continenya banyak memuat cerita ,kisah-kisah percintaan seru romantis dan delematis .

aku buka lembar perhalaman dan aku menemukan sebuah contine yang isinya dalam seperti di format sebuah Diary dengan judul Sebuah catatan berbalut puisi rindu ,dalam catatan itu seseorang sangat ingin meyakinkan temannya agar selalu ingat dalam sebuah janji yang dia buat untuk sebuah rindu.

Tuuuu tut,tuuuuuut tuut ada sebuah mension yang masuk dia menulis dalam inbox ku. Aku hanya boleh tersenyum sambil berharap, jika saya mampu melewati ini? tidak tahu panggilan dekat sekarang, jika aku tahu yang sebenarnya saya kemudian bahawa cara bermoral sendiri dan bagaimana binalnya diriku sebagai seorang wanita, hingga akhirnya AKU HARUS MENGOREKSI pada diri sendiri, apakah saya layak mendapatkannya?

Ayuh! Saya tidak ingin menjadi pemalu dan pengecut seperti rakan-rakannya memanggil saya: Kerana aku selalu melangkah mundur dan merasa dicintai dan mencintai. Saya selalu dirantai untuk melakukan dan menyerah pada cita-cita, mimpi dan prinsip-prinsip saya. Tapi kali ini, walaupun saya harus melacurkan prinsip saya, saya sudah siap.

Dia adalah orang yang ingin memberitahu rakan-rakan, orang yang hanya tahu tidak lebih dari dua setengah jam di warung kopi di sudut bandar Marang dan sampai menjadi kekasih, pada saat itu juga. Saya tidak suka menyebutnya sebagai teman wanita saya, kerana saya ingin dia muncul sebuah karya dalam hidupku, aku ingin menjadi sebuah inspirasi , aku ingin menjadi alasan untuk tetap bekerja.

Kamerad, walaupun darah bangsawan mengalir dalam tubuh dan darah seorang sarjana, dan membuat diriku sebagai lumpur hitam yang hanya mampu mencemarkan dinding putih, namun ia hanya ingin belajar bagaimana mencintai.

Pelajaran pertama yang saya dapatkan dari dia adalah apa yang kecewa. Setiap hari saya harus berkompromi dengan jadual yang sangat padat aktiviti, termasuk kegiatan rutin Tekan buku sebelum matahari terbit dan sesudah matahari terbenam. Peristiwa lain yang berkaitan dengan keluarga, harus mengikuti lah ayahnya, lah mesti nganterin anak saudara. Terutama dengan sosialisasi sebagai aktivis. Saat harus menjemput seorang teman. Saat harus nemuin teman. Ya Tuhan!

Pelajaran seterusnya adalah cara bagaimana untuk menjaga komitmen. Fakta bahawa ada seorang teman yang tertarik pada saya dan selalu berusaha untuk memenangi hati saya, saya cuba menyakinkannya jantung dan otak saya hanya dihuni oleh nama. Setiap hari adalah satu-satunya alasan untuk tidur dengan secepat mungkin untuk bergabung dengannya dalam mimpi. Dan itu juga merupakan alasan untuk bangun di pagi hari, hanya untuk boleh mencintai kampung halaman saya yang saya lupa sedikit berjalan ini di sekitar bandar.

Expositions belajar saya belum selesai, tapi aku berjanji pada kalian! Tidak lagi keluh dan pengecut terdengar. Jika memang kita harus berakhir, bukan kerana saya menghilang. Kerana tidak kerana malas. Ini bukan kerana saya berikan. Kerana dia adalah orang yang baik yang saya bekerja. Catat itu!

entah kenapa
hati ini terasa hilang
muncul keperibadian
Mereka begitu lembut
kesepian yang menyertainya
yang menghangatkan membeku jantung ketika nya
hari bersama-sama
mungkin hanya kenangan belaka
tertawa dengan anda
sekarang menunggu
menyapa anda
sekarang hanya mimpi
Tatapan jauh untuk memenuhi
kedua kata untuk menyapa
mengunci walaupun jarak membentang
namun kehadiran hati menanti
Puisi Rindu
Segurat sedih wajah ... Dan sekarang sebuah puisi sedih ...
Berbalut sekeping rindu hati ..
Hadirmu rindu, rindu senyum anda ..
Tuhan di Syurga .. trimakasih Di mana mesej
Dia adalah orang yang sangat ketara
Untuk kehidupan
Pelangi hati, mengisi hari saya ...
Harapan sepotong  tidak akan pergi apa lagi tinggal di sana
Sekarang ... selepas ... dan setiap masa.
Puisi Rindu
Pada awalnya aku mnyukaimu sungguh2
kemudian secara beransur-ansur
Aku mula mnyayangimu
Tapi sekarang anda seperti
Semkin merasa jauh dariku
Tidak tahu kenapa
Seperti dalam daun angin  
Atau aku tak akan tercapai
Aku merindukanmu
Sebenarnya, anda benar-benar aneh
Saya hanya boleh menulis di selembar kertas
Bagaimana saya miss you
beratus-ratus liter air yang berada di pantai
sehingga anda Rinduku
Tentang Rindu
Jika bintang-bintang menemani tidak lagi
Biarkan aku menikmati keheningan
Jika puisi indah tidak lagi mampu mewakili perasaan ini
Biarkan aku menikmati jurang ini
Mungkin air mata yang tulus
Akan lebih ketara dari pada tertawa penuh kebohongan
Mudah-mudahan yang kerinduan untuk segera berakhir
Bagaimana saya boleh mendapatkan keinginan baru untuk lebih bermakna
Dan aku boleh membuat anda bahagia
Cinta dan Impian saya dari anda
Anda tidak ada seperti saya
Memasuki penghinaan dunia hayalanku
Aku berhayal sendirian dengan anda
Di mana saya boleh tertawa dengan anda, memegang tangan anda
Gracious, cintaku tidak
Mengapa tidak mengenali
Anda tidak tahu apa yang ada di hati saya
Anda tidak tahu apakah memandingi wajah cantiknya
Anda tidak ada seperti saya
Cinta bersemi Unconscious
Siapa yang tidak mampu mengucapkan kedalaman keinginan
Ketika mu adalah
Dia terjebak di bilik saya cinta dan kerinduan
Saya tidak boleh memberitahu anda, walaupun itu sentuhan
Setiap mata menyengat ke jantung hatiku
Anda adalah cinta saya, cinta terpendamku
Anda tidak Rinduku terlepas bertuanku.
Rindu
Dimana melayang angin
Ketika hari mulai gelap nan suram
Siapa kuangankan lagu
Sebuah bayangan di kabut terhad Nona
Ayo diletakkan di sisi saya
Dan dia berbisik padaku
Semua belenggulah tubuh dan jiwa
Aku ingin menangis dalam pelukan anda
Akan mana berbaris awan
Bagi mereka yang saya memejamkan mata
Bulan Pecah di laut kasar
Cawangan di musim luruh hati
Bagi Saya
Bahasa menyakiti diri kita sendiri
Jadi ...
Conscience membuat kita terpisah
Aku pergi ke keheningan malam
Anda pergi ke hujung jalan
Tanpa melihat ke belakang kembali
Di tepi pasir putih ini
Aku pergi merenungimu
Mengapa berkorban untuk cinta
Hal ini tidak dianggap bahawa ada
Sekarang aku kembali ke sini
Tempat ketika kita berpisah
Kerana Rinduku
Berharap anda berfikir yang sama
Kembalilah padaku sejak akhir jalan ada
Lovely nightfall
Saat matahari mula terbenam
Saya melihat anda tersenyum di sisiku
Aku menatap tanpa berkedip
Bagi saya, matanya begitu sempurna
Hari itu
Saya merasakan denyut urat anda
Sukar mengalahkan hatimu
Nafas harum
Juga panas cinta anda
Sekarang tentang anda kujadikan jelaskan sebelum tidur
Saya membuat bayangan kerinduan tidur
Dan Ku do Marina di alam mimpi
Jiwa ini, Jantung ini, Hidup adalah apa yang anda terlepas
Anda terindahku sejarah
Yang berlaku
Apa yang akan terjadi pada diri
Telah tertulis dalam Foggy Mountain Giri
Walaupun seperti menguap di siang hari
Itu nyata dicetak pada Memory Cosmic
Tapi aku harus tetap bernyanyi lagu
Itu hiburan keluaran jiwaku Rindu
SaYa berharap yang selalu menemani saya selama ini
Baginya yang membuat saya puas
Aku tidak boleh
Jadi lebih baik bahawa seseorang
Mari saya membaca puisi hanya ke Rock yang
Kerana Dia Rinduku, dulu dan sekarang


Untuk sementara, saya hanya ingin memberitahu anda, kawan. Jauhkan cerita saya dan saya Dengar jika saya melanggar janji saya untuk diri mereka sendiri dengan bukti tulisan ini. Kerana saya Novie .