Beginikah rasanya mencintai secara diam
diam. Hanya melihat dari jauh saja sudah sangat sangat bahagia. ya,aku
kagum sekaligus tak ku sadari timbul percikan rasa cinta , aku merasakan sudah
beberapa tahun ini secara diam-diam hatiku bergetar di saat melihat ataupun
bahkan andai aku ada di dekatnya. Akan tetapi kenapa aku harus seperti ini, tak
cuma diam. Terkadang dalam hati berteriak ‘Hayy…. kamu savindra ‘”kalau cinta kenapa harus diam “,
karena aku dan dia sudah saling kenal, dan bahkan sering membuat konversasi
yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui messenger.
Daniel aldo wijaya, ialah nama
lengkapnya. Dia adik kelasku ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia
berpacaran dengan sahabatku. Saat itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum
akan kepandaiannya. Entah, buatku, lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma
tersendiri, terlebih dia mampu bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya
hubungan Aldo dengan Lina -sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku,
sebab aku tak mungkin bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup
mencintainya saja, bukan untuk memiliki hatinya, ujar benakku.
Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki? Filsafat lama pasti
sudah memikirkan tentang hal ini. Waktu berjalan dengan kaki bayangan, kaki
yang tak terlihat oleh kasat mata manusia. Waktu ialah serupa cinta; cuma bisa
dirasa. Waktu ialah harapan, setiap langkahnya bergerak ke depan, membawa angan
dan ingin yang ditiupkan angin, berharap selalu tentang kebaikan. Waktu ialah
serupa perempuan; tak mudah ditebak. Waktu terkadang baik; mendekatkan.
Pun waktu terkadang jahat; memisahkan.
Waktu memisahkan kami,…. Kami?! Ah,
maksudku, aku yang mengharap kami, padahal seharusnya kubilang aku dan dia
saja. Entah ketika dia mengetahui aku yang selalu menyebut aku dan dia ibarat
kami, mungkin akan marah. Sebab memang tak pernah ada kami. Aku dan dia memang
tak pernah punya cerita. Tapi pikirku, dia tak akan pernah tahu tentang rasa
diam ini yang kupunya. Jadi, kuibaratkan kami saja. Masih berharap tentang
waktu, masih berharap tentang kami.
Beberapa tahun yang lalu. Terakhir
aku menemui matanya yang kucuri diam-diam ketika perpisahan sekolah. Dia
mengucapkan salam perpisahan. Dan aku, cuma bisa membalas senyum. Ah, aku masih
ingat senyumnya. Manis sekali.sweeettt …sweeetttt
"Kak, apa kabar lo? Kita udah
lama banget nggak curhat-cuhatan. Sekarang kuliah di mana? Gue udah kuliah di
Universitas XX. Bentar lagi balik ke Tuban. Aaaak Semester awal ngeselin ya
Kak. Tapi kan untung gue pinter. Hehehehe..."
Aku kaget. Satu menit yang lalu
memikirkan dia, dia langsung mengirimiku pesan instan di Blackberry Messenger.
Sesegera mungkin aku membalasnya.
"Alhamdulillah baik. Lo sendiri
gimana? Gue kuliah di Tuban. Hahaha, lo masih nggak berubah ya, Do. Pinter,
tapi sombong. Huh! Semoga lancar deh semesternyaa ya!", balasku.
"Gue kangen deh sama lo,
Kak." Ucapnya, membuatku ge-er. Aku. Berharap. Lagi.
"Ciyeeee, ada yang kangen sama
gue. Hehehehe." Balasku, penuh percaya diri.
"Iiiicsh, pede. Kak, gue ketemu
Lina loh di sini. Dia makin cantik deh, Kak. Makin dewasa. Yaiyalah, Lina lebih
tua dari gue. Namanya juga dulu macarin kakak kelas. Hahahaha. Kita ngobrol
panjang lebar loh." Celotehnya lagi, menghancurkan harap, merusak mood.
Jadi, dia membuat konversasi ini hanya untuk membicarakan yang tak terlalu
penting buatku? Ah, Aldo selalu begitu. Harusnya aku tak usah berharap lagi
tentangnya.
"Gue udah lama nggak ketemu
dia. Hehehe, pasti lo seneng banget deh ketemu mantan. Ciyeeee. Eh Do, gue
harus masuk kantor lagi. Lanjut nanti ya ngobrolnya. Byeeee!" Aku
berbohong, sebab makin lama Dia membicarakan mantannya, mood-ku bisa semakin
berantakan.
Lagi dan lagi, cuma bisa berharap. Memang
tak seharusnya berharap secara terlalu. Memang seharusnya berpindah ke hati
yang lain, tak melulu soal yang lalu. Sebab waktu berjalan.
"Ah, sial! Mobilku mogok!
Kenapa begini sih?! Meeting-ku mulai setengah jam lagi." Gumamku,
kesal.
Pagi ini penuh sial. Minuman kotakku
tumpah mengenai seragam, pun mobilku mogok di sembarang tempat, jalan yang jauh
dari bengkel ataupun pom bensin. Ya, aku selalu menghindari jalan yang rawan
kemacetan. Sebisa mungkin aku meminimalisir menggunakan jalan-jalan umum, aku
lebih sering menggunakan jalan alternatif -jalan perkampungan yang masih bisa
dilewati mobil satu arah- agar bisa menghemat waktu.
"Dasar cewek. Punya mobil tapi
nggak ngerti mesin. Coba sini, saya lihat kenapa bisa mogok." Seorang
lelaki berpengawakan tinggi kurus, berkulit putih, pun tampan ini mencoba
menolongku tetapi dengan gayanya yang sok tahu. Huh! Tapi memang, aku tak
mengerti soal mesin. Hehe.
"Mbak, ini sih bensinnya abis.
Bentar deh, saya beliin bensin dulu ke depan." Ujarnya.
Sebentar. Aku mengenalinya. Ah iya! Aldo!
Yang barusan mau menolongku dengan gayanya yang sok tahu itu ya cuma milik Aldo.
Ini benar-benar kebetulan yang luar biasa. Waaah, hari ini ternyata bukan hari
sialku. Sebab aku bertemu dengan orang yang selama ini aku harapkan untuk
bertemu.
"Bensinnya udah saya isiin,
Mbak. Lain kali, jangan sampe bensinnya habis gak bersisa. Kasihan
mobilnya." Ucapnya, sambil menuju ke arah mobilnya yang kemudian bergegas
untuk berlalu.
Dia tak mengenaliku. Sama sekali
tidak. Kupikir, dia akan memanggil namaku, dan setelahnya kami bisa saling
membuat konversasi langsung yang menyenangkan. Tapi nyatanya tidak. Dia tak
mengenaliku. Ah, sial! Kupikir hari ini berubah jadi hari keberuntunganku,
nyatanya tidak. Sikapnya tadi cuma membuatku diam, dan sedikit bengong.
"Mas, makasih!" Teriakku.
Hal tersebut menyadarkanku untuk
segera melajukan lagi kendaraan roda empat yang dihadiahi Mamaku ketika aku
berulangtahun di usia 19 tahun. Kembali ke dunia nyata, dan lupakan segara
harap yang tak mungkin. Kepada hati yang penuh harap, logika harusnya siap
menantangmu. Ah.
----
Di kedai kopi , pukul tujuh malam
sepulang dari boutiqku. Aku melihatnya lagi. Dia, jelas tak melihatku. Sebab
Kedai sedang ramai, dia mana mungkin menyadari keberadaanku. Dia memesan kopi
hitam panas, di cup kecil, take away. Datang ke Kedai cuma sepuluh menit,
kemudian berlalu. Hal ini ternyata terus berulang, sampai berlaku ke seminggu
berikutnya. Sampai aku hafal betul kebiasaannya.
Ternyata kami berbeda. Dia meminum kopi
selalu di mobil, sebagai teman tak ngantuk ketika mengendarai. Sedang aku,
meminum moccacino sembari meluapkan hobi menulis dan menggambarku, sambil
sesekali mencari wi-fi untuk sharing bersama teman-teman lain melalui sosial
media, dan menghabiskan waktu berjam-jam. Sepeti halnya saat ini, kopi moccaku
sudah di cangkir kedua, sketsaku sudah di lembar ketiga, pun cerpenku sudah di
paragraf ke enam puluh dua.
Serasa ada yang memanggilku. Tetapi
dengan panggilan "Hey!" Yang menurutku kurang begitu sopan. Ah iya,
tak semua orang mengetahui namaku.
"Kita ketemu lagi. Udah dua
kali aja kita ketemu. Ah iya, saya belum tahu nama kamu. Aku, Aldo. Daniel aldo
wijaya." Dia menyodorkan tangannya, tanda perkenalan.
Aldo masih tak mengenaliku. Padahal
di Blackberry Messenger aku begitu sering mengganti display picture menggunakan
foto yang memang wajahku. Ah, mungkin memang dia tak pernah meng-enlarge
display picture-ku di BBm. Dan seharusnya dia mengenaliku karena dulu kami
sering bertemu. Huh. Tapi itu tentang beberapa tahun yang lalu. Mungkin aku
yang banyak berubah, sedang dia, tidak.
"Gendhis Savindra, panggil Gendhis,
atau Vindra." Sebenarnya ada sedikit kecewa, tapi tak kutunjukkan.
Kemudian kusuguhi senyum yang beberapa orang bilang senyumku begitu manis.
Sedikit PeDe boleh, kan? Oh ya, namaku Ira rachmawaty septya putry savindra. Di
Blackberry Messenger, selalu kutulis Gendhis S., Aldo tak akan pernah tahu S. di
dalam namaku. Aku membiarkan dia tak tahu tentang aku yang sebenarnya, tapi aku
tak sama sekali berbohong. Savindra memang benar namaku.
"Savindra kan nama cowok.
Yaudah, karena kamu nggak sama sekali kelihatan kayak cowok, jadi gue panggil Gendhis
deh. Hmmmm, anak desain ya? Gambarnya
bagus-bagus, lucu. Kalau yang gambarnya, cantik." Ucapnya, sambil sesekali
melempar senyum yang disisipi tertawa kecil, ah, manis.
Aku serasa menjadi orang lain, yang
begitu pendiam, yang begitu tak mau tertawa biar dia memberiku beberapa humor
yang memang seperti terpaksa dan aneh. Entah, kenapa dia begitu sok akrab
kepadaku.
"Ah enggak, cuma hobi aja
kok."
"Penulis?"
"Cerpenis blogger."
"Aku nggak begitu suka
baca."
"Aku pun."
"Kok suka nulis? Mana ada
penulis yang nggak suka baca. Aneh." Gumamnya.
"Ada, aku."
"Kok bisa?" Aldo keheranan.
"Menulis itu merekam ingatan,
mencatat keinginan, memainkan imajinasi, dan hidup di dunia fantasi. Nggak
perlu suka baca, soalnya cuma tinggal berkhayal, buat dunia baru. Menulis itu
membuat dunia sendiri, sedangkan membaca itu menonton dunia orang lain, dengan
seolah-olah kita berperan dan hidup dalam tulisan itu."
"Kenapa kamu nggak suka
baca?"
"Aku lebih suka nonton film.
Nonton film dan baca buku itu ialah pilihan. Bagiku, aku harus memilih salah
satu di antaranya. Kamu mau bilang aku aneh? Silahkan. Semua orang punya
caranya sendiri untuk memilih apa yang disuka maupun tidak. Seperti halnya
menggambar, aku nggak tahu teknik menggambar yang benar, pun menulis dengan
kalimat rapi dan berbahasa tinggi, tapi selagi itu menyenangkan dan nggak merugikan
diri sendiri, i lived on it."
"Kamu cerewet."
Apa? Cerewet?! Aku bahkan tak
tertawa. Aku hanya menjelaskan apa yang dia pertanyakan. Aku ini sedang jadi
pendiam, pendiam yang cuma menjawabi pertanyaan-pertanyaan dia yang seharusnya
tak kujawab, yang tak begitu penting. Entah penjelasanku didengar atau tidak,
seperti serasa menceritakan dongeng kepada bayi yang baru kemarin lahir, cuma
dijawab "Oaaa... Oaaaa", huh.
Dasar wanita, mudah sekali kesal.
Dengan dia bilang seperti itu, sudah merupakan tanda bahwa aku harus berhenti
bicara. Aku diam.
Hening.
"Kok diem?"
"Tadi dibilang cerewet, giliran
diem, ditanya 'kok diem?'. Hahaha." Aku meledek.
"Gue memperhatikan kok setiap
kalimat yang kamu ucapkan. Gue paham. Kamu itu penulis dan penggambar yang masih
malu untuk unjuk gigi. Yang terkadang selalu merendahkan diri dengan bilang
cuma sekadar cerpenis, dan cuma sekadar suka menggambar yang tak bisa
menggamar. Tapi kamu terlihat sebagai wanita yang segala bisa. Oh ya, gue
bilang cerewet karena memang kenyataannya begitu. Cerewetmu tak menjengkelkan
kuping gue. Malah gue senang dengernya. Nggak apa-apa cerewet asal berisi. Tuh
kan, gara-gara kamu gue jadi ikut cerewet." Jelasnya, panjang lebar.
'Aldooo. Kenapa kamu tak menyadari
sama sekali bahwa ini aku, kakak kelasmu dulu, yang begitu diam-diam
megagumimu? Yang sedang dihadapanmu ini ialah yang selalu kamu panggil Kak Rachma.
Ah, aku cuma bisa bergumam dalam hati, menunggu kamu menyadari dengan
sendirinya.' Batinku.
"Oke, sekaang giliran kamu yang
cerewet dan silahkan ceritakan tentang kamu. Tapi aku kasih waktu, lima
menit."
"Udah kayak interview kerja ya.
Huh. Yaudah. Nama gw Aldo umur 18 tahun. Dan gw sama sepertimu, nggak suka
baca, dan lebih senang nonton film. Bedanya, kamu wanita, gw lelaki, dan gw
nggak suka gambar. Gw lebih suka motret dan travel. Kalau film, gw suka sama
Adam Sandler dan Jennifer Anniston. Segitu aja dulu deh, tentang gw, sisanya
bisa gw ceritakan di pertemuan kita yang ketiga, nanti."
Tanpa dia jelaskan pun, aku suh tahu
tentang dia lebih banyak dari yang dia ceritakan barusan. Aku cuma tak mau
konversasi ini cepat berakhir.
"Jangan terlalu yakin kalau
akan ada pertemuan ketiga di antara kita." Entah. Kenapa aku begitu
terkesan sombong dan menjengkelkan. Seperti bukan aku.
"Saya yakin. Sepulang kantor,
besok, pukul tujuh malam, di tempat yang sama seperti halnya malam ini."
"Ya mudah-mudahan. Pulang yuk,
udah pukul sepuluh malam" Ajakku, yang sudah menemui beberapa kantuk
menghinggapi kelopak mata.
"Yuk."
Kami dipertemukan, tetapi di dalam
keadaan di mana kami sedang tak saling jatuh cinta. Maksudku, aku yang jatuh
cinta diam-diam, sendirian.wkwkwkwkwkk…
------
Sepulang kantor, mama meneleponku
untuk segera pulang, mama minta ditemani sebab mbak siti sedang cuti pulang ke
desanya. Jadi malam ini, aku tak singgah di Kedai Kopi, pun benakku bilang
bahwa Aldo tak datang ke Kedai malam ini.
Pukul sepuluh malam. Led
Blackberry-ku menyala merah. Ada yang mengirimiku pesan instan.
"Kak. Gue ketemu Lina lagi. Tadi
sore kita jalan bareng. Ternyata dia nggak berubah ya, kekanak-kanakannya itu
imut, selalu bikin gue gemes."
Ternyata Aldo, pesannya sudah
terlanjur kubaca. Tak mungkin kuabaikan, biar seberapa besarnya mood-ku rusak
tiba-tiba oleh isi pesannyayang straight to the point.
"Duh, kalian lucunya. Semoga
akur terus ya. Duh, gue jadi kangen kan sama kalian..." Balasku, sesak.
Bagaimana bisa dia masih ingat Lina
dengan jelas, sedang denganku tidak sama sekali? Jawabannya sudah jelas, karena
dia tak memperhatikanku.
"Ya mudah-mudahan kita bisa
ketemu, lagian kan gue udah balik ke BJN. Lagi apa, Kak?"
Benar kan? Aldo tak ke Kedai malam
ini. Sesore tadi dia bahkan jalan dengan Lina. Memang harusnya tak usah ada
pertemuan ketiga sebagai Savindra dan Aldo lagi. Memang harusnya kupatahkan
hatiku agar tak melulu dia yang menyinggahi benak. Sudahi, mudahi.
"Lagi nonton tv, nemenin mama.
Soalnya mbak yang biasa temani mama lagi pulang kampung."
"Oh, yaudah Kak. Selamat nonton
tv bareng mama. Salam buat mama kakak".
Chat terakhirnya tak kubaca. Cuma
terlihat sebaris dari display utama notifikasi pesan. Kubiarkan tak terbaca
sampai pagi.
-----
Kopi susu moccacino, ialah
rutinitasku. Takkan kubiarkan hari-hariku kurang tanpanya. Kopi favoritku ialah
kopi moccacino panas dengan dibubuhi sedikit gula. Kopi susu sedikit gula,
ialah teman menulis gila. Kopi racikan Barista favoritku ialah Mas Dewa,
Barista di Kedai Kopi yang biasa aku singgahi. Malam ini, aku singgah lagi.
Tanpa sedikitpun berharap mata menemuinya. Malam ini, cuma mau menghabiskan dua
cangkir kopi susu moccacino panas favoritku, sembari melepaskan asa yang
kurekam dalam sebuah tulisan singkat. Malam ini, aku tak menggambar, sebab aku
lupa membawa pulpen gambar.
"Hei, nggak menggambar?"
Lagi-lagi Aldo.
"Lupa bawa drawing pen."
"Nih , aku punya. Tapi yang
0,05 mm. Aku selalu bawa di saku baju. Tapi nggak tau buat apa."
"Lagi males gambar."
"Hmmmm... Okay. Semalem nggak
ke sini ya?"
Menyebalkan. Untuk apa dia
menanyakan hal yang tak perlu ditanyakan. Iya, tak perlu, sebab dia sendiri
bahkan tak datang.
"Seharusnya malam ini pertemuan
kita yang keempat." Lanjutnya lagi, sebab aku masih diam.
"Semalam kamu ke sini? Aku
nggak ke sini, soalnya ada urusan lain yang lebih penting."
Baru saja semalam aku mau
melupakannya. Tapi lagi-lagi dia datang, seolah-olah membuka tangan, memberi
harap untuk saling bisa menggenggam. Entah apa yang ada dipikiran lelaki yang
satu ini. Hatinya ke mana-mana. Inginkan Lina, tapi seolah meminta hati dan
perhatianku. Ini mengesalkan, harusnya kalau sudah ada Lina, tak usah bilang
soal pertemuan kami.
"Saya nunggu sampai pukul
sepuluh. Habis itu pulang. Soalnya kamu nggak juga datang." Ucapnya,
mengagetkan.
"Maumu apa?!" Emosiku
tiba-tiba meledak.
"Saya nggak pernah merasa seyakin
ini. Saya menyayangi kamu." Aldo makin membuatku semakin tak mengerti.
"Kita bahkan baru bertemu tiga
kali. Jangan bicara sembarangan. Kamu bahkan nggak kenal aku." Sesak, aku
menahan air mata. Bagaimana tak sesak, semalaman dia membicarakan Lina,
sekarang bilang seperti itu dengan mudahnya.
"Saya sering memperhatikanmu,
jauh sebelum bertemu denganmu ketika mobilmu kehabisan bensin. Saya sering
memperhatikanmu di sini. Kamu menggunakan syal yang berbeda setiap harinya.
Tiga warna yang kuingat, warna campur gelap dominan merah tua, warna campur
gelap dominan biru tua, dan warna garis-garis hitam abu-abu yang berantakan.
Kamu bisa menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi moccacino panas sedikit
manis, menggambar dan menulis dengan penuh serius, sendirian. Menghampirimu, sangat
butuh keberanian yang cukup, sebab kamu terlalu penuh serius dengan imajimu,
sampai tak menoleh ke arahku yang berada di depanmu, sedang memesan secangkir
kopi yang sama denganmu. Saya selalu memilih untuk membawa kopinya, ialah sebab
saya ingin menghampirimu, tetapi enggan merusak imajimu. Kemarin ialah waktu
yang tepat buat saya membuka konversasi langsung sama kamu. Maaf, jadi saya
yang cerewet, cuma sekadar mau menjelaskan apa yang selama ini ku
rasakan." Jelasnya, yang sama sekali tak membuat semua jelas.
"Aku tanya maumu apa?! Aku
tanya sekali lagi maumu apa?!" Air mata perlahan menetes. Aku berucap,
lirih. Gemetaran.
Aldo terdiam.
"Kamu nggak bisa seenaknya
mempermainkan perasaan orang lain. Lina, kemudian aku. Aku Gendhis, yang selalu
kamu kirimi segala cerita-cerita tentang Lina dan kamu, tentang cinta kalian.
Aku Gendhis, yang kadang hatinya mudah kecewa tiap kali kamu menceritakan dia.
Aku Gendhis, yang berharap ketika itu kamu memanggil namaku, tetapi kamu malah
berlalu, pun malah menanyakan namaku. Kamu tahu, aku penuh luka, dan aku ingin
lupa!" Jelasku, masih berlirih.
"Kenapa harus luka? Kenapa
harus kecewa?"
"Sebab aku mencintaimu!"
Ucapku, refleks.
"Diam-diam?"
"Pikirmu?!"
"Kamu pikir, saya nggak
mencintaimu, hah?! Saya bingung harus melakukan apa ketika itu. Saya mana
mungkin mendekatimu setelah saya memacari sahabatmu. Lina tak bisa membuat saya
menyukaimu dengan seyakin ini. Saya bingung membuat konversasi denganmu di
messenger memulainya dengan apa. Mungkin dengan itu, bisa membuat kita saling
bertukar cerita lebih lama. Tapi saya malah melukai kamu." Jelas Aldo,
meyakinkan.
"Aku nggak percaya."
Balasku, singkat.
"Kamu harus percaya. Saya tahu
kamu, Ira Rachmawaty Septya Putry Savindra. Saya jelas tahu namamu dari
perpisahan sekolah waktu itu. Saya ada, dan saya yang memotretmu. Saya jelas
hafal namamu. Soal waktu itu, saya cuma sekadar sengaja mencoba menjadi orang
asing bagimu. Kamu tahu kenapa? Supaya kita bisa lebih banyak bicara, sampai
larut. Cinta saya diam-diam. Tapi sekarang tidak. Sebab saya sudah mencoba
mengungkapkannya."
"Aku bahkan lebih dulu
mencintaimu diam-diam. Aku lebih dulu mengagumimu."
"Iya, setelah itu saya yang
begitu menyukaimu. Diam-diam juga."
"Lalu?" Aku masih tak
menyangka. Aku berasa sedang bermain dengan imajin di dunia fantasi liarku.
Semoga ini benar, dan bukan sekadar ilusi.
"Saya mau kita."
"Maksudnya?" Aku masih
keheranan.
"Segala kita, di semua cerita
yang kamu buat. Bukan ilusi, bukan imajinasi. Kita, yang membuat ceritanya
sendiri. Kita, yang menghidupi segala fantasimu. Gw sayang kamu."
"Aku juga sayang kamu."
Kami saling meyakinkan hati, di
hadapan dua cangkir kopi hitam sedikit manis yang mendingin sendirinya, cangkir
kopi milik kami. Kami ialah dua yang sama; pecinta racikan kopi yang sama
rasa, yang ternyata saling mencinta diam-diam, pun yang akhirnya cintanya bisa
suarkan suara kejujuran dari masing-masing hati kami.
Malam itu, dia memelukku. Memberi
tenang yang luar biasa candu; menenangkan, mendamaikan.
Sekarang, cinta kami tak lagi diam.
Teruntuk kalian yang cintanya
bungkam, belajarlah bicara.jangan terus diam andai kalian semua di hinggapi
rasa, utarakanlah biar tak ada penyesalan .
Tidak ada komentar :
Posting Komentar